Program penataan ruang menempati kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan nasional karena aspek-aspeknya meliputi bidang lingkungan hidup dan pertanahan yang terkait dengan hampir semua kegiatan dalam kehidupan manusia dan pembangunan. Oleh sebab itu, berbagai upaya dalam pelaksanaan pembangunan selayaknya selalu dikaitkan dengan kepentingan yang berkaitan dengan penataan ruang seperti pelestarian fungsi lingkungan hidup, pengembangan tata ruang dan pengelolaan aspek pertanahannya. Khususnya dalam rangka pembangunan lingkungan hidup, amanat GBHN 1993 telah jelas menegaskan bahwa pembangunan lingkungan hidup merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi. Untuk itu, pembangunan sektor ini perlu diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, secara sadar kita menjunjung tinggi pandangan bahwa ruang wilayah negara Indonesia ini merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinatif, terpadu, dan efektif dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam konteks inilah kegiatan penataan ruang diselenggarakan. Di dalam kegiatan penataan ruang tersebut, berbagai sumberdaya alam ini ditata sebagai satu kesatuan sistem lingkungan hidup yang memperhatikan keseimbangan antara satu bentuk pemanfaatan terhadap bentuk pemanfaatan yang lain. Penataan pertanahan dalam hubungan ini memiliki kedudukan yang penting karena hampir setiap kegiatan pembangunan diselenggarakan dalam areal tertentu. Dengan mempertimbangkan bahwa kebutuhan akan tanah terus meningkat, sementara ketersediaannya semakin lama justru semakin berkurang, penerapan mekanisme pengaturan pemanfaatan tanah untuk menjamin bahwa pembanguîan dan kehidupan manusia akan terpelihara keberlanjutannya perlu terus diupayakan dan ditingkatkan kualitasnya.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, dibentuk Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). BKTRN ini diketuai oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS dan memiliki anggota yang terdiri dari:
Proyek ini diselenggarakan untuk mendukung pelaksanaan koordinasi BKTRN dalam mengemban tugas-tugas yang disebutkan di atas. Untuk itu, telah dibentuk Sekretariat BKTRN yang tanggung jawabnya berada langsung di bawah Sekretaris BKTRN/Ketua Pokja TRN dan dipimpin langsung oleh Kepala Biro Pembangunan Perkotaan, Permukiman, Perumahan Rakyat, dan Penataan Ruang (P4RPR) BAPPENAS. Lingkup tanggung jawab sekretariat ini adalah mengendalikan operasionalisasi kegiatan Tim Teknis dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan penataan ruang yang sedang digarap oleh BKTRN.
Pada tahun anggaran ini, jumlah anggaran yang dimiliki oleh proyek ini adalah sebesar Rp. 1,387 miliar. Dari dana sebesar tersebut, penggunaannya adalah sebagai berikut:
Pada tahun anggaran ini, jumlah anggaran yang dimiliki oleh proyek ini adalah sebesar Rp. 2,582 miliar. Dari dana sebesar tersebut, penggunaannya adalah sebagai berikut:
Draft hasil penggodokan Tim Kecil tersebut disusun dengan berpedoman pada amanat UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Dan bentuk draft yang dihasilkan berupa seluruh substansi yang terdapat pada naskah akademis menjadi bagian dari naskah RPP RTRWN , baik sebagai batang tubuh, atau sebagai penjelasan atau lampiran. Sedangkan lampiran yang berupa peta harus dibuat skala 1:1.000.000 sesuai yang diamanatkan dalam UU Nomor 24 tahun 1992.
Selanjutnya, draft hasil penyusunan ulang Tim Kecil tersebut telah dibahas secara khusus dengan para nara sumber di lingkungan Bappenas yang terdiri atas Deputi III : Prof. DR. Bambang Bintoro Soedjito, Deputi VII : Prof. DR. Budhy Tjahjati S S, dan Ketua, Ketua Harian, Sekretaris, Pelaksana Harian Pokja Tata Ruang Nasional serta Kepala Biro P4RPR. Hasil keputusan-keputusan pada pembahasan ini, diolah dan disusun kembali pada rapat kerja biro P4RPR dan sekretariat TRN pada tanggal 2-3 Desember 1996.
Draft hasil penyusunan terakhir dievaluasi kembali oleh Ketua Tim Pokja TRN dan pada tanggal 5 Maret 1997 telah disampaikan oleh Deputi Bidang Regional dan Daerah kepada Wakil Setkab RI sebagai revisi kedua sejak penyampaian kepada Bapak Presiden RI pada tanggal 13 Juni 1996 yang lalu.
Setelah penyerahan revisi kedua tersebut, pembahasan-pembahasan secara intensif terus dilakukan di tingkat staf biro hukum dan perundang-undangan Setkab dan Sekretariat Tata Ruang Nasional, baik pada naskah RPP maupun lampiran-lampirannya, khususnya lampiran I dan II yang berupa peta pola pemanfaatan serta struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional (skala 1:1.000.000).
Draft ke-75 dievaluasi oleh Tim Kecil Pokja TRN, dan dari hasil evaluasi ini diperoleh beberapa hal yang cukup substansi yang perlu dibicarakan kembali. Sehubungan dengan hal ini pada tanggal 12 Mei 1997 telah diadakan rapat khusus Tim Kecil Pokja TRN yang dipimpin oleh Pelaksana Harian Pokja TRN dengan Tim penyusun draft semula yaitu Tim Teknis IV cq. BPN.
Pada tanggal 25 April 1997 Tim Kecil Pokja TRN telah mengundang 8 propinsi bermasalah, untuk mempresentasikan status permasalahan, status penyelesaian penanganannya dan rencana yang akan dilakukan, mengenai paduserasi TGHK dengan RTRWP di masing-masing propinsi.
Dari pertemuan tersebut disepakati hal-hal sebagai berikut: